5/31/2008

Reksa Dana

Posted on August 19, 2007 by John Item
Dagangan Baru di Bursa Saham
Kun Wahyu Winasis

MULAI berpalingnya para pemilik dana ke industri reksadana dimanfaatkan benar oleh para manajer investasi (MI). Seolah berpacu dengan waktu, banyak pengelola dana kini gencar menawarkan produk barunya. Sarana berinvestasi yang ditawarkan pun semakin variatif. Salah satunya reksadana indeks obligasi, yang baru saja dirilis oleh PT Bahana TCW.


Dalam sebuah tulisannya, John D. Item, Head of Asset Management Danareksa Investment Management, mengatakan, reksadana indeks (RDI) sebenarnya merupakan reksadana yang dikelola secara pasif. Sebab, perubahan portofolio yang menjadi patokan indeks relatif kecil. Tujuan utama reksadana semacam ini adalah menghasilkan kinerja yang mengikuti kinerja indeks tertentu. Misalnya indeks harga saham gabungan (IHSG) atau Jakarta Islamic Indeks (JII).
Lantaran perubahan portofolio tak terlalu banyak, biaya pengelolaan reksadana ini juga lebih rendah. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat, rata-rata rasio biaya pengelolaan produk RDI sekitar 0,6%. Sementara reksadana lain angkanya bisa mencapai 2%.













Biaya-biaya itu meliputi ongkos administrasi (selling fee, subscription fee, custody fee) dan biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang ditanggung reksadana untuk pembelian dan penjualan obligasi, saham atau instrumen lainnya.
Yang lebih penting lagi, diversifikasi risikonya lebih luas. Sebab, jumlah obligasi ataupun saham yang ada dalam portofolio indeks jauh lebih banyak. Sebagai gambaran, di reksadana biasa, jumlah portofolio yang dikelola berkisar antara 10-20 instrumen. Sementara indeks jumlahnya kebanyakan di atas 20.
Di dalam pembentukan portofolionya, ada dua metode yang dipakai, yakni replikasi penuh dan pengelompokan sampel. Untuk replikasi penuh, RDI akan membeli seluruh obligasi atau saham yang ada di indeks dengan bobot sama persis dengan indeks. Hanya saja, lantaran butuh biaya besar dan di-anggap kurang praktis, biasanya pengelola dana mengombinasikan metode ini dengan pengelompokan sampel.
Melalui sampel, jumlah obligasi atau saham yang dibeli bisa lebih sedikit, misalnya 70% dari total indeks. Dengan cara ini, biaya yang dikeluarkan relatif kecil sehingga bisa lebih efisien. Nah, karena tidak 100% sama persis dengan indeks, otomatis kinerjanya pun sedikit berbeda. Perbedaan itulah yang biasanya disebut sebagai tracking error. Besar kecilnya tracking error ini juga bisa menjadi indikator kemampuan seorang manajer investasi dalam mengelola reksadananya.
Lantas bagaimana dengan reksadana indeks obligasi Bahana? Sejatinya, produk ini sudah dirilis April 2005 silam. Namun, waktu itu, investornya sangat terbatas yaitu Executive’s Meeting of East Asian and Pacific Central Banks (EMEAP). Jenis reksadananya sendiri masih dikategorikan sebagai reksadana pen-dapatan tetap.
EMEAP, yang merupakan kumpulan 11 bank sentral di Asia— termasuk Bank Indonesia—kala itu menjadi sponsor Asian Bond Fund (ABF), demikian nama produk ini, dengan menginjeksi dana senilai Rp 300 miliar. Belakangan, Bahana berusaha untuk mengembangkan ABF menjadi reksadana indeks obligasi. Namun usaha itu baru mendapat lampu hijau dari Bapepam akhir 2006 silam.
DI AMERIKA BERKEMBANG PESAT
Dwina S. Wijaya, Direktur Utama Bahana TCW, berharap sampai akhir 2007 ABF-Indonesian Bond Indeks Fund bisa menjaring dana senilai Rp 500 miliar. Target utama investornya adalah institusi. Makanya, minimal investasi di produk ini sebesar Rp 100 juta. Meskipun demikian, Dwina juga tidak akan menolak apabila ada investor ritel yang hendak menginvestasikan dananya di produk ini.
Indeks yang akan dijadikan patokan, kata Dwina menambahkan, adalah Iboxx (Indonesian Bond Index). Iboxx merupakan indeks untuk pasar obligasi yang diterbitkan oleh International Index Company (IIC) pada 12 Mei 2005. Bank Indonesia sebagai sponsor juga hanya mengizinkan ABF sebagai pengguna tunggal benchmark tersebut. Jumlah obligasi yang akan dijadikan portofolio indeks ini sebanyak 24. Semuanya merupakan obligasi negara yang tersebar di seluruh tenor sesuai komposisi indeks.
Dalam produk ini, Bahana tidak melakukan replikasi penuh terhadap seluruh portofolio yang ada, hanya sekitar 80% saja. Sisanya akan dikombinasikan dengan portofolio aktif, seperti obligasi korporasi. Itu sebabnya, Bahana menetapkan tracking error maksimal 40 basis poin dari kinerja Iboxx. ”Selama ini rata-rata tracking error-nya cuma 7 basis poin,” ungkap Dwina.
Soal return, Budi Hikmat, Direktur Bahana, mengatakan, selama setahun terakhir cukup bagus, sekitar 28%. Hasil tersebut masih lebih tinggi ketimbang produk reksadana aktif yang berbasis SUN dan obligasi korporasi. Dengan performa seperti itu, Budi optimistis produk ini akan mampu memikat banyak investor. Apalagi, seperti dikatakan Dwina, mulai semester II nanti reksadananya diharapkan sudah bisa ditransaksikan di Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Jika rencana itu berjalan mulus, ini merupakan yang pertama dalam sejarah pasar modal kita. Menurut Dwina, saat ini pihaknya sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah anggota bursa untuk menjadi market maker produk ini. ” Dengan adanya market maker, transaksi di bursa bisa lebih efektif,” katanya.
Bagaimana dengan investor ritel? Menurut Dwina, jika investor ritel berminat, ada baiknya mereka melakukan transaksi di bursa. Keuntungannya pun lumayan banyak. Dengan dana minimal, investor bisa berinvestasi di berbagai jenis obligasi negara. Namun, lanjut dia, agar bisa mendapatkan hasil maksimal, sebaiknya investasi dilakukan dalam jangka panjang.
Selain investor lokal, lanjut Dwina, Bahana juga berharap investor asing. Soal risiko produk ini, Budi Hikmat menuturkan, akan tecermin dari kondisi pasar. Jika pasarnya sedang menurun, maka return yang dihasilkan juga ikut terpengaruh. Tapi Budi menegaskan, jika melihat Bank Indonesia juga ikut berinvestasi, tentunya produk ini tergolong prudent.
Bagi sebagian investor, kata John D. Item, produk yang hanya menawarkan kinerja, seperti kinerja pasar (indeks), mungkin kurang menarik. Padahal produk ini memiliki kinerja yang cukup baik. Sebagai contoh Jakarta Islamic Indeks (JII) yang selama 5 tahun terakhir menghasilkan kinerja 39%. Kinerja itu setara dengan kinerja reksadana saham (aktif) terbaik di Indonesia dalam periode yang sama.
Makanya, tidak mengherankan jika perkembangan RDI di Amerika cukup pesat. Di awal tahun 70-an, ketika mulai diperkenalkan ke publik, pangsa pasar RDI masih di bawah 5%. Tapi sekarang, angkanya sudah di atas 30%.
Lantas bagaimana peluangnya di Indonesia? Kita tunggu saja respons pasar nanti. o

Tidak ada komentar: