5/31/2008

Mengenang 125 Tahun Meletusnya Gunung Krakatau

BULAN Agustus 120 tahun lalu adalah bulan penuh duka. Sekira 30 ribu orang di sekitar Selat Sunda mengalami bencana yang sangat dahsyat dengan meletusnya Gunung Krakatau. Gunung yang terletak di bawah laut di selat itu merupakan gunung aktif dan menarik perhatian dunia.



Sebetulnya pada Mei 1883, Gunung Krakatau telah menunjukkan kegiatannya yang terus bertambah.

Menurut Neumann van Padang, pada bulan tersebut telah terjadi letusan yang menyemburkan awan debu dan uap air sampai setinggi 1.100 meter. Mula-mula kegiatan Krakatau berawal dari kawah Perbuatan lalu menyusul kegiatan di kawah yang lain.

Kemudian pada pukul 10.00 WIB, Senin 27 Agustus 1883, Krakatau meletus dan menyemburkan ejekta yaitu debu dan batu apung ke angkasa.

Letusan itu adalah letusan dari kawah pusat, kawah parasiter, dan kawah di bawah muka laut. Menurut K. Kusumadinata, ejekta yang dilemparkan ke angkasa sebanyak 18 km kubik setinggi 80 km. Bunyi letusan terdengar jelas sampai jarak 200 km dan bahkan terdengar di Australia dan Singapura.

Debu yang dilontarkan ke angkasa menutup sinar matahari dan mendinginkan bumi. Majalah National Geographic dari Amerika Serikat mencatat penurunan suhu bumi karena letusan Krakatau tersebut.

Letusan Krakatau ini merupakan nomor tiga di dunia dalam jumlah ejekta yang disemburkan ke atmosfer. Yang pertama adalah letusan Gunung Tambora, juga gunung api Indonesia yang pada 1815 melontarkan 80 km kubik ejekta. Letusan G. Tambora menyebabkan pendinginan bumi yang sangat jelas sehingga pada tahun 1816 disebut a year without summer di Amerika Serikat. Nomor dua adalah letusan G. Mazama di Jepang pada tahun 4600 sebelum Masehi yang memuntahkan 42 km kubik ejekta.

Pada letusan gunung api yang berada di laut seperti halnya G. Krakatau ini, awan debu bukanlah satu-satunya penyebab bencana, air laut bergejolak yang ada di dekat gunung api itu dapat menyebabkan gelombang tsunami yang tinggi dan menerjang pantai-pantai di sekitarnya. Pada letusan G. Krakatau, dengan runtuhnya dinding kawah di dasar laut, terbentuklah lubang kawah besar yang disebut kaldera, air laut yang membanjiri kaldera dan mengisinya dengan arus yang sangat deras dan amat banyak menyebabkan bergejolaknya air laut.

Gelombang tsunami setinggi 30 meter menerjang pantai Lampung dan Banten. Sebuah kapal uap ”Barlow” yang sedang berlayar di Selat Sunda didamparkan di hutan oleh gelombang tsunami sejauh 30 km dari Pantai Lampung. Rel-rel kereta api di Pantai Banten terpilin-pilin seperti mainan anak-anak. Bangkai-bangkai manusia, kuda, sapi, ayam, dan anjing tersangkut padanya. Walaupun sudah lemah, gelombang tsunami letusan Krakatau terasa sampai di pantai barat Amerika Selatan.

Tidak tercatat berapa juta gulden kerugian karena letusan tersebut. Diperoleh keterangan, korban manusia tewas 36.417 orang. Korban sebanyak itu sampai saat ini mungkin merupakan korban terbesar di dunia yang disebabkan oleh bencana alam.

Seratus dua puluh tahun yang lalu penduduk dan prasarana di Pulau Jawa dan Sumatra masih sangat sedikit. Bila letusan itu terjadi sekarang, kerugian, kerusakan, dan kesedihan karena kematian yang ditimbulkannya akan berlipat ganda karena padatnya penduduk. Menurut laporan Stehn, Pulau Danan, Perbuatan, dan Rakata menghilang dan letusan itu hanya menyisakan bukit kecil sisa dari Danan dan sebuah kaldera di dasar laut.

Dengan letusan yang dahsyat itu tidak berarti Gunung Krakatau berhenti bekerja. Max Sons, seorang pegawai sebuah perusahaan minyak yang terbang melewati Krakatau pada bulan Juni tahun 1972, melaporkan adanya letusan Krakatau yang menyemburkan debu setinggi 3 km. Esok harinya awan debu masih dapat dilihat dari jarak 80 km.

John Barlow, seorang navigator perusahaan penerbangan yang terbang malam dari Jakarta ke Singapura melaporkan pada bulan Desember 1972 terlihat pancaran-pancaran api dari Gunung Krakatau. Pada bulan yang sama, K. Kusumadinata, seorang ahli vulkanologi melaporkan bahwa dua buah titik letusan Krakatau dapat dilihat dari Pantai Carita dan Pasauran. Oesman Sadili, seorang anggota Polri melaporkan adanya awan letusan setinggi 1.600 meter pada bulan Januari 1973. Hamidi menyaksikan awan dengan bentuk ”kol kembang” dengan tinggi 1.500 meter. Demikianlah Krakatau tetap aktif sampai sekarang.

Setelah mengalami pembentukan kaldera pada tahun 1883, para ahli gunung api menyimpulkan bahwa letusan yang serupa mungkin dapat terjadi 2000 sampai 3000 tahun lagi atau mungkin lebih lama lagi. Dari riwayat gunung api di seluruh dunia, sampai saat ini tidak ada satu pun gunung api yang membentuk kaldera sampai dua kali.

Sudah sewajarnya bila Direktorat Vulkanologi yang memantau gunung api yang banyak terdapat di Indonesia mendapat peralatan yang modern dan para petugas yang berada sendirian di tempat yang dingin, sunyi, dan berbahaya mendapat tunjangan yang mencukupi agar mereka tetap dapat memfokuskan tugasnya.

Dengan demikian, bencana yang mungkin terjadi akibat letusan gunung api yang mendadak karena kurang terawasi, dapat dihindari dan korban jiwa manusia dapat dicegah. (Ir. Sardjono Angudi)***

Tidak ada komentar: